Teori Psikologi sebagai dasar atau landasan pengembangan teori-teori belajar.Landasan
dari teori-teori belajar ini dapat digolongkan ke dalam lima aliran yang
dianggap besar dan sangat dominan dalam memenuhi praktek pembelajaran yakni,
behavioristik, Kognitifistik, Humanistik, Kontruktivistik, dan Cybernetik.
A.
Aliran
Behavioristik
Belajar menurut pandangan aliran
behavioristik pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang
ditangkap pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara
stimulus dan respon (S-R). Oleh karena itu, teori belajar ini juga dinamakan
teori Stimulus-Respon yaitu belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan
stimulus dan respon sebanyak-banyaknya.
Teori-teori belajar yang dilandasi
aliran behavioristin antara lain yaitu:
1. Connectionisme (Thorndike)
Teori
connectionisme (hubungan) yang dibangun oleh Thorndike dari percobaannya
diperoleh gambaran yang luas (kompleks) terhadap proses belajar pada manusia.
Connectionisme dalam belajar akan melahirkan partisipasi aktif antara guru
dengan siswa. Partisipasi aktif antara guru di dalam suatu pembelajaran, jika
seorang guru mampu memberikan stimulus positif kepada siswanya, barulah
stimulus (rangsangan) tersebut ditanggapi siswa dalam bentuk respon baik dalam
bentuk bertanya, kemampuan menjawab soal atau bentuk-bentuk lain yang
berhubungan dengan aktivitas belajar.
Untuk
mendapatkan partisipasi aktif dan positif ditengah suasana berlangsungnya
proses pembelajaran, Thorndike menggagas setidaknya harus ada tiga hukum mayor
(Snelbecker, 1974:214) yaitu:
Ø Hukum efek
Ø Hukum
latihan
Ø Hukum
kesiap-siagaan
2. Classical Conditioning (Pavlop)
Teori classical
conditioning atau pengkondisian klasik dari Ivan Pavlop merupakan
perkembangan lebih lanjut dari teori koneksionisme. Pavlop melakukan percobaan
dengan seekor anjing. Dalam percobaannya, Pavlop ingin membentuk tingkah laku
tertentu pada anjing. Bentuk percobaan yang dilakukan sebagai berikut: dalam
keadaan lapar, sebelum diberikan makanan dibunyikan lonceng, diperlihatkan
makanan, dan air liur anjing keluar. Keadaan ini terus menerus diulang,
bunyikan lonceng, perlihatkan makanan, air liur anjing keluar. Setelah beberapa
kali dilakukan ternyata pada akhirnya setiap lonceng dibunyikan air liur anjing
keluar walaupun tanpa diberikan makanan. Dalam keadaan ini, anjing belajar
bahwa kalau lonceng berbunyi pada ada makanan sehingga menyebabkan air liurnya
keluar.
Berdasarkan
eksperimen ini, Pavlop menarik kesimpulan bahwa untuk membentuk tingkah laku
tertentu harus dilakukan secara berulang-ulang dengan melakukan pengkondisian
tertentu. Pengkondisian itu adalah dengan melakukan semacam pancingan dengan
sesuatu yang dapat menumbuhkan tingkah laku itu.Dalam hal ini Pavlop
mengemukakan hukum belajar sebagai berikut:
Ø Law of respondent conditioning atau hukum pembiasaan yang
dituntut.
Ø Law of respondent extinction atau hukum pemusnahan yang
dituntut.
3. Operant Conditioning
Teori operant
conditioning dikembangkan oleh B.F Skinner. Teori ini dilandasi oleh adanya
penguatan (reinforcement). Berbeda dengan Pavlov yang diberi kondisi
adalah stimulus (S), maka pada teori Skinner ini yang diberi kondisi adalah
respon (R).
Skinner
membedakan dua macam respon yakni respondent respons (reflexive
response) dan operant response (instrumental response). Respondent
respons adalah respon yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu,
misalnya perangsang stimulus makanan menimbulkan keluarnya air liur. Respon ini
relatif tetap. Artinya, setiap ada stimulus semacam itu akan muncul respon
tertentu. Dengan demikian, perangsang-perangsang yang demikian itu mendahului
respon yang ditimbulkannnya. Operant response atau instrumental
response adalah respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh
perangsang-perangsang tertentu. Perangsang yang demikian disebut reinforce, karena
perangsang-perangsang tersebut memperkuat respons yang telah dilakukan. Jadi
dengan demikian, perangsang tersebut mengikuti dan memperkuat suatu tingkah
laku yang telah dilakukan. Misalnya jika seseorang telah belajar melakukan
sesuatu lalu mendapat hadiah sebagai reinforce, maka ia akan menjadi lebih giat
dalam belajar.
Pada
prilaku manusia respondent respons bersifat terbatas, oleh karena
itu sangat kecil untuk dapat dimodifikasi. Sebaliknya operant response
sifatnya tidak terbatas, oleh karena itu kemungkinan untuk dapat dimodifikasi
sangat besar. Dengan demikian untuk mengbah tingkah laku dapat menggunakan operant
response..
B.
Aliran Kognitif
Teori belajar kognitif lebih
menekankan pada proses belajar yang dilakukan individu. Belajar merupakan
perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai
tingkah laku yang tampak. Belajar juga merupakan suatu proses internal yang
mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi dan aspek kejiwaan lainnya.
Belajar menurut teori ini merupakan aktivitas yang melibatkan proses berpikir
yang kompleks.
Berikut beberapa teori belajar yang
termasuk dalam aliran kognitif yaitu:
1.
Teori
Gestalt
Teori
gestalt dikembangkan oleh Koffka, Kohler dan Wertheimer. Menurut teori gestalt
belajar adalah proses mengembangkan insight. Insight adalah
pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan.
Berbeda dengan teori behavioristik yang menganggap belajar atau tingkah laku
itu bersifat mekanistik, sehingga menggabaikan atau mengingkari peranan insight.
Teori gestalt beranggapan bahwa insight adalah inti dari pembentukan
tingkah laku.
Makna dari
prinsip ini adalah pembelajaran itu bukanlah berangkat dari fakta-fakta akan
tetapi mesti berangkat dari suatu masalah. Melalui masalah itu maka siswa dapat
mempelajari fakta.
2.
Teori
Medan Kognitif (Lewin)
Teori
medan kognitif dikembangkan oleh Kurt Lewin. Lewin memandang bahwa setiap
individu berada di dalam medan kekuatan yang bersifat psikologis yang disebut
dengan ruang hidup (life space). Life space meliputi manifestasi
lingkungan di mana siswa bereaksi, objek material yang dihadapi, serta fungsi
kejiwaan yang diimilikinya. Belajar berlangsung sebagai akibat perubahan
struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif itu merupakan hasil dari dua
macam kekuatan, satu dari struktur medan kognitif itu sendiri, yang lain dari
kebutuhan motivasi internal individu.
Teori
medan kognitif ini menjelaskan bahwa belajar adalah proses pemecahan masalah.
3.
Teori
Perkembangan Piaget
Menurut Piaget
dasar dari belajar adalah aktivitas anak apabila ia berinteraksi dengan
lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Akibatnya lingkungan sosialnya
berada di antara anak dan lingkungan fisiknya. Melalui pertukaran ide-ide
dengan orang lain, seorang anak tadinya memiliki pandangan subjektif terhadap
sesuatu yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi objektif
Aktivitas mental anak terorganisasi dalam struktur kegiatan mental yang disebut
skema atau dalam bentuk jamak skemata. Skema merupakan abtraksi mental
seseorang yang digunakan untuk mengerti sesuatu atau memecahkan sesuatu atau
memecahkan masalah. Individu mengisi atribut skemanya dengan informasi yang
benar agar dapat membentuk kerangka pikir yang benar. Kerangka pemikiran inilah
yang akan membentuk pengetahuan struktural individu. Pengetahuan
struktural tersebut terdiri dari skema-skema yang dipunyai dan hubungan antar
skema-sekama tersebut.
4.
Teori
Kognitif Bruner
Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan atas dua
asumsi. Asumsi pertama ialah bahwa perolehan pengetahuan merupakan suatu
proses interaktif. Berlawanan dengan paham para penganut teori Behaviour,
Bruner yakin bahwa siswa yang belajar berinteraksi dengan lingkungan yang
secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi di lingkungan, tetapi juga dalam
diri siswa sendiri. Asumsi kedua ialah bahwa siswa yang
mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan
informasi yang disimpan yang diperoleh sebelumnya (mode of work). Dengan
menghadapi aspek dari lingkungan, siswa akan membentuk suatu struktur atau
model. Dengan model tersebut dapat disusun hipotesis, untuk memasukkan
pengetahuan baru kedalam struktur-struktur, dengan memperluas struktur-struktur
itu atau dengan mengembangkan struktur atau sub struktur baru.
Bruner
mengemukakan bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir
bersamaan. Ketiga proses itu adalah: (1) memperoleh informasi baru (2)
tranformasi informasi, dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan.
5.
Teori
Belajar Bermakna (Ausubel)
Ausubel
mencetuskan gagasan belajar penerimaan verbal bermakna (meaningful verbal
reception learning). Ausubel menyatakan
bahwa cara belajar ini merupakan proses yang aktif karena meliputi: (1) analisis
kognitif untuk menentukan aspek struktur kognitif yang berhubungan
dengan materi baru, (2) penyesuaian
materi baru dengan struktur kognitif yaitu mengetahui persamaan dan perbedaan
antara konsep baru dan konsep yang sudah diketahui sebelumnya, dan (3) perumusan
kembali materi belajar sesuai dengan latar belakang intelektual serta kosa kata
yang dimiliki oleh siswa.
Dalam teori belajar bermakna, dasar pemikiran utama
adalah bahwa konsep/informasi baru harus berhubungan dengan konsep yang sudah
ada dalam struktur kognitif, oleh karena itu, Ausubel menjelaskan faktor
utama yang mempengaruhi belajar bermakna dan penyimpanan informasi adalah
struktur kognitif itu sendiri. Bila struktur kognitif ini jelas, mantap dan
tersusun dengan baik akan timbul pemahaman yang tepat dan jelas yang dapat
mempertahankan kekuatan atau keberadaannya. Sebaliknya, bila struktur kognitif
tidak tersusun dengan baik, hal ini akan menghambat belajar bermakna dan
penyimpanan informasi baru.
6.
Teori
belajar Gagne
Gagne menjelaskan belajar adalah
bukan merupakan sesuatu yang terjadi secara alamiah tetapi hanya akan terjadi
dengan adanya kondisi-kondisi tertentu yaitu kondisi: (1) internal, yang antara
lain menyangkut kesiapan siswa dan apa yang telah dipelajari sebelumnya (prerequisite)
ekternal merupakan situasi belajar dan penyajian stimuli yang secara sengaja
diatur oleh guru dengan tujuan memperlancar proses belajar. Tiap-tiap jenis
hasil belajar memerlukan kondisi-kondisi tertentu yang perlu diatur dan
dikontrol. Secara khusus, Gagne menyatakan bahwa cara berpikir seseorang
tergantung pada: (1) keterampilan apa yang telah dimiliki, dan (2) keterampilan
serta hirarki apa yang yang diperlukan untuk mempelajari suatu tugas.
C.
Aliran
Humanistik
Aliran belajar humanistik memandang bahwa proses belajar
harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Menurut teori humanistik,
tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap
berhasil jika siswa telah memahami lingkungan dan dirinya sendiri.
Aliran
belajar humanistik ini cenderung bersifat eklektif dalam arti memanfaatkan
teknik belajar apapun, asal tujuan belajar siswa dapat tercapai. Dengan kata
lain teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk memanusiakan manusia
yaitu mencapai aktualisasi diri dapat tercapai. Dalam prakteknya, teori ini
antara lain terwujud dalam pendekatan yang diusulkan Ausubel dengan “belajar
bermakna”, teori ini juga terwujud dalam teori Bloom dan Krathwohl.
Beberapa
teori belajar yang dilandasi oleh aliran humanistic yaitu:
1. Teori Kolb
Kolb membagi tahapan belajar menjadi
4 yaitu:
a. Pengalamana konkrit
b. Pengalaman aktif dan reflektif
c. Konseptualisasi
d. Eksperimental aktif.
Menurut Kolb, siklus belajar semacam
itu terjadi secara berkesinambungan dan berlangsung di luar kesadaran siswa.
Dengan kata lain, meskipun dalam teorinya, Kolb mampu membuat garis tegas
antara tahap satu dengan tahap lainnya, namun dalam praktek peralihan dari satu
tahap ke tahap lainnya itu seringkali terjadi begitu saja, sulit ditentukan
kapan beralihnya.
2.
Teori
Honey dan Mumford
Honey dan Mumford membagi 4 tipe
siswa yaitu:
a. Tipe aktivi
b. Tipe reflector
c. Tipe teoritis
d. Tipe pragmatis.
3. Teori Habermas
Habermas meyakini bawa belajar
sangat dipengaruhi oleh interaksi baik dengan lingkungan maupun dengan sesama
manusia. Dengan asumsi ini, Habermas membagi 3 tipe belajar yaitu:
a.
Belajar
teknis
Siswa belajar bagaimana berinteraksi
dengan alam sekelilignya. Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan
cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu
b.
Belajar
praktis
Siswa belajar berinteraksi tetapi
pada tahap ini yang lebih dipentingkan adalah interaksi antara siswa dengan
orang-orang yang ada disekelilingnya. Pada tahap ini pemahaman siswa terhadap
alam tidak berhenti pada suatu pemahaman yang kering dan terlepas kaitannya
dengan manusia.
c.
Belajar
emansipatoris
Siswa berusaha mencapai pemahaman
dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan (transformasi) kultural
dari suatu lingkungan. Pemanfaatan dan kesadaran terhadap transformasi kultural
dianggap tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi kultural dianggap
sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi.
4. Teori Vygotsky
Menurut Vygotsky perkembangan
kemampuan seseorang dapa dibedakan kepada 2 tingkat yaitu:
a. Tingkat
perkembangan aktual.
Tingkay perkembangan aktual tampak
dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan
berbagai masalah secara mandiri. Hal ini disebut Vygostky dengan istilah
kemampuan intramental.
b. Tingkat
perkembangan potensial.
Tingkat perkembangan potensial
tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan
masalah ketika di bawah bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan
teman sebaya yang lebih kompeten. Hal ini disebut Vygostky dengan istilah
kemampuan intermental.
5. Teori Carl Rogers
Roger menyatakan bahwa siswa yang
belajar hendaknya tidak dipaksa, melainkan dibiatkan belajar bebas, siswa
diharapkan dapat mengambil keputusan sendiri dan berani bertanggungjawab atas
keputusan-keputusan yang diambilnya sendiri. Dalam konteks tersebut, Rogers
mengemukakan 5 hal dalam proses belajar humanistik yaitu:
a. Hasrat untuk
belajar
Hasrat untuk belajar disebabkan
adanya hasrat ingin tahu manusia yang terus menerus terhadap dunia
sekelilingnya. Dalam proses mencari jawabnya, seseorang mengalami
aktivitas-aktivitas belajar.
b. Belajar
bermakna
Seseorang yang beraktivitas akan
selalu menimbang-nimbang apakah aktivitas tersebut mempunyai makna bagi
dirinya. Jika tidak tentu tidak akan dilakukannya.
c. Belajar tanpa
hukuman
Belajar yang terbebas dari ancaman
hukuman mengakibatkan anak bebas melakukan apa saja mengadakan eksperimentasi
hingga menemukan sendiri sesuatu yang baru.
d. Belajar dengan
inisiatif sendiri
Belajar dengan inisiatif sendiri
menyiratkan tingginya motivasi internal yang dimiliki. Siswa yang banyak
berinisiatif, mampu mengarahkan dirinya sendiri, menentukan pilihannya sendiri
serta berusaha menimbang sendiri hal yang baik bagi dirinya.
e. Belajar dan
perubahan
Dunia terus mengalami perubahan,
karena itu siswa harus belajar untuk dapat menghadapi kondisi dan situasi yang
terus berubah.
D.
Aliran Konstruktivistik
Aliran konstruktivistik memahami
belajar sebagai proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan oleh siswa itu
sendiri. Pengetahuan ada di dalam diri siswa yang sedang mengetahui. Oleh
karena itu pengetahuan merupakan hasil konstruksi yang dilakukan siswa.
Menurut aliran konstruktivistik, pengetahuan dipahami sebagai suatu
pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami
reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru. Pengetahuan bukanlah
kemampuan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai
konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman maupun lingkungannya.
Terdapat beberapa kemampuan yang
diperlukan untuk mengkonstruksi pengetahuan:
a) kemampuan mengingat dan
mengungkapkan kembali pengalaman,
b) kemampuan membandingkan dan
mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan tentang sesuatu hal, dan
c) kemampuan untuk lebih menyukai suatu
pengalaman yang satu pada yang lain.
Sedangkan faktor-faktr yang
membatasi proses konstruksi pengetahuan adalah:
Ø hasil konstruksi yang telah dimiliki
seseorang
Ø domain pengetahuan seseorang
Ø jaringan struktur kognitif seseorang
Selanjutnya berkaitan dengan
ciri-ciri belajar konstruktivistik adalah sebagai berikut:
a.
Orientasi
Siswa diberi kesempatan untuk
mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik dengan memberi kesempatan
melakukan observasi.
b.
Elisitas
Siswa mengungkapkan idenya dengan
jalan berdiskusi, menulis, membuat poster dan lain-lain.
c.
Restrukturisasi
Klarifikasi ide dengan ide orang
lain, membangun ide baru, mengevaluasi ide baru.
d.
Penggunaan ide baru baru dalam berbagai situasi
Ide atau pengetahuan yang telah
terbentuk perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi.
e.
Review
Dalam mengaplikasi pengetahuan,
gagasa yang ada perlu direvisi dengan menambahkan atau mengubah.
Peranan guru, menurut aliran
konstruktivistik lebih sebagai mediator atau fasilitator bagi siswa, yang
meliputi kegiatan sebagai berikut:
a. Menyediakan
pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab, mengajar atau
berceramah bukanlah tugas utama guru.
b. Menyediakan
atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan
membantu mereka untuk mengekspresikan gagasannya. Guru perlu menyemangati siswa
dan menyediakan pengalaman konflik.
c. Memonitor,
mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau tidak. Guru
menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan siswa dapat diberlakukan
untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan.
E.
Aliran
Cybernetisme
Aliran
Cybernetisme memandang otak manusia aktif memproses informasi seperti halnya
teknologi informasi alau komputer, namun manusia aktif mencari bukan hanya
pasif menerima. Peserta didik menangkap rangsangan melalui panca indranya, baik
dalam bentuk obyek benda, data, maupun peristiwa kemudian memperhatikan atau
mengabaikan, memilih sebagian atau menerima seluruhnya, dan membuat reaksi
dengan membuat respons-respons.
Manusia
bukan mesin yang pasif yang selalu tertib dan teratur memproses informasi
tersebut, melainkan aktif mencari dan me-manipulasi. Suatu ketika ia cepat
sekali, sedang-sedang saja, atau lambat sekali tergantung pada kesegaran
pikiran, perasaan, dan kebugaran fisik yang muncul pada saat itu. Berbeda
dengan mesin yang berbentuk benda mati, manusia cenderung mencari pengalaman
yang mengarah pada perolehan pengetahuan bam, keterampilan baru, atau sikap dan
pandangan baru yang lebih memihak kepada dirinya atau pihak lain. Melalui
proses seperti ilu peserta didik selalu berubah atau berkembang.
KESIMPULAN
Teori belajar behavioristik atau
dikenal juga dengan aliran tingkah laku memaknai belajar sebagai proses
perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan
respon. Belajar tidaknya seseorang bergantung pada faktor-faktor yang diberikan
lingkungan. Tokoh-tokoh yang termasuk dalam aliran behavioristik adalah Thorndike,
Pavlop, Watson, Hull, Guthrie dan Skinner.
Teori belajar kognitif, memaknai belajar tidak hanya sekedar melibatkan
hubungan antara stimulus dan respon. Lebih dari itu, belajar adalah melibatkan
proses berpikir yang kompleks. Pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya
sangat menentukan hasil belajar. Tokoh-tokoh yang termasuk dalam aliran
kognitif adalah Koffka, Kohler, Wertheimer Piaget, Ausubel, Bruner dan Gagne.
Teori belajar humanistik, memaknai proses belajar dilakukan dengan
memberikan kebebasan yang sebesar-besarnya kepada individu. Siswa diharapkan
dapat mengambil keputusannya sendiri dan bertanggung jawab atas
keputusan-keputusan yang dipilhnya. Tokoh-tokoh yang termasuk dalam aliran
humanistik adalah Kolb, Honey dan Mumford, Habermas, Vygotsky, Rogers.
Teori belajar konstruktivistik memaknai belajar sebagai proses pembentukan
(kontruksi) pengetahuan oleh siswa itu sendiri. Pengetahuan ada di dalam diri
seseorang yang sedang mengetahui dan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari
guru kepada siswa
Teori Belajar Cybernetisme memandang otak manusia aktif memproses
informasi, namun manusia
aktif mencari bukan hanya pasif menerima. Peserta didik menangkap rangsangan
melalui panca indranya, baik dalam bentuk obyek benda, data, maupun peristiwa
kemudian memperhatikan atau mengabaikan, memilih sebagian atau menerima
seluruhnya, dan membuat reaksi dengan membuat respons-respons.